“Tak guna kau menyesal, Laksmi.
Lebih baik kau beranjak sekarang sebelum ibu pulang dan mengusirmu dari sini.”
Sebenarnya aku tak tega
memperlakukanmu seperti ini. Kau saudara sedarahku. Tapi keputusanmu itu telah
menggoreskan luka yang purna di hati ibu, Kak Ifa, Bang Yan dan aku, kakak yang
paling dekat denganmu. Kau tak tau betapa ibu tiga hari tak sadarkan diri
setelah membaca memo pahit yang kau tinggalkan di meja makan. Aku dan Kak Ifa
pontang-panting mengurus ibu di rumah sakit. Sementara Bang Yan membatalkan
keberangkatannya ke Jakarta mengikuti Speech Contest tingkat nasional yang
sudah lama diimpikannya itu. Dan kau, ponselmu tak aktif. Mengisyaratkan bahwa
kau benar-benar tak lagi peduli pada keluarga kecilmu.
“Tapi aku benar-benar menyesal,
Kak. Aku ingin minta maaf pada ibu, Kak Ifa, Bang Yan dan kakak.” Kau
sesunggukan.
“Pergilah, Laksmi. Pergi!” Aku
membentak. Perlahan kau beringsut pergi.
Bukan aku tak mau memberimu kesempatan.
Aku hanya tak ingin ibu pulang dan melihatmu di rumah ini. Ibu terlanjur sakit
hati padamu, Laksmi. Aku masih ingat ucapan yang pertama kali keluar dari mulut
ibu begitu sadar dari komanya, “dia bukan
anakku lagi. Aku tak ingin melihat wajahnya. Jangan pernah kabarkan tentang
keadaanku padanya.” Mata ibu menyalakan api kemarahan. Hatinya perih tak
terkatakan. Pun Kak Ifa dan Bang Yan. Keputusanmu telah meluluh-lantakkan
impiannya.
Aku sendiri menyimpan kekecewaan
mendalam padamu. Kau telah merenggut kepercayaan yang kuberikan. Aku jadi
merasa turut andil melukai hati ibu. Semua berawal dari keinginanmu menjadi
seorang biduan.
Kau memang adikku yang memiliki
suara merdu. Tiap hari kau bersenandung di rumah sambil mencuci, memasak,
bahkan saat mengerjakan PR. Kau tak fanatik dalam bermusik. Pop, dangdut,
melayu, religi, semua kau nyanyikan. Yang paling menggelitik hatiku ketika sapu
kau jadikan microphone, lalu kau bergaya bak penyanyi ala diva Indonesia.
Belakangan kudengar kabar dari teman sekelasmu bahwa kau sering bernyanyi di
kelas bila gurumu tak datang. Hingga suatu kali guru agama menghampirimu.
“Tim nasyid sekolah ini lagi nyari
vokalis. Ibu rasa kau orang yang tepat untuk itu.”
Kau kegirangan menyampaikan kabar
ini pada seisi rumah. Apalagi tim nasyid sekolahmu akan mengikuti festival
nasyid se-provinsi. Ibu, Kak Ifa dan aku mendukung. Bang Yan bahkan berjanji
akan mentraktirmu makan sepuasnya bila kau tampil baik hingga timmu menjadi
juara di festival itu. Kau jadi begitu bersemangat. Dan nyatanya, usahamu tak
sia-sia. Tim nasyid sekolahmu menyabet juara terbaik satu di ajang festival
tahunan itu.
Sayangnya, kau harus berhenti
berjibaku di dunia nasyid pasca kemenangan itu. Sebab kau memasuki semester
kedua di kelas tiga. Sekolahmu tak membiarkan siswa kelas tiga mengikuti segala
bentuk ekstrakurikuler sekolah. Saatnya konsentrasi pada persiapan ujian
nasional. Kau cukup kecewa kala itu. Namun aku tiada henti menyemangatimu,
hingga akhirnya kau bisa menerima.
Begitu ujian nasional usai, ibu
menawarkanmu untuk mengikuti bimbel sebagai persiapan masuk perguruan tinggi.
“Gak usah, Bu. Laksmi cukup membahas soal-soal saja di rumah,” itu katamu.
Kuakui kau memang bukan gadis bodoh. Nilai akademikmu selalu memuaskan. Sebab
itu aku yakin kau bisa membahas soal-soal itu dengan baik.
Hasil ujian nasional baru akan
keluar sebulan berikutnya. Hari-hari kau habiskan di rumah dengan membaca,
bahas soal dan sesekali menonton. Tapi rupanya kejenuhan menggerogoti jiwamu
tepat dua minggu ujian nasional usai.
“Laksmi ingin kerja, Bu,” ucapmu memecah keheningan makan
malam saat itu.
“Bukannya penerimaan mahasiswa baru
dua bulan lagi? Fokus belajar aja, Nak,” ibu menyela lembut. Sementara aku, Kak
Ifa dan Bang Yan saling pandang. Heran.
“Laksmi gak akan bekerja yang
menyita banyak waktu, Bu. Laksmi akan tetap sering di rumah.”
“Yang namanya bekerja itu pasti
menyita waktu. Kakak khawatir kau tak bisa membaginya dengan belajar,” Kak Ifa
angkat bicara.
“Ini beda, Kak.”
“Pekerjaan apa yang kau maksud,
Nak?” selidik ibu.
“Biduan.”
Glekk!! Ibu tercekat. Bang Yan
melotot. Aku dan Kak Ifa spontan berhenti mengunyah. Seperti rem cakram yang
tiba-tiba diinjak, mendadak menghentikan laju sepeda motor.
“Tidak. Kau tak akan pernah ibu
izinkan jadi biduan”.
Sejak malam itu kau terus berusaha
melunakkan hati ibu. Tak putus cara, kau mengajakku kompromi. Kau tiada henti
memelas padaku agar membantumu membujuk ibu. Tampaknya kau tahu betul bahwa ibu
sering menerima pendapatku. Untuk menyenangkan hatimu, kulakukan jua usaha itu.
Meski aku tak yakin berhasil.
Terlanjur buruk citra biduan di
mata ibu. Bercermin pada beberapa biduan yang ada di kampung kita. Hampir
keseluruhan dari mereka berakhir dengan kawin lari, pecandu aktif obat
terlarang, bahkan hamil di luar nikah.
Tiba-tiba aku teringat pada Mega,
seorang biduan yang citranya tak seburuk biduan kebanyakan. Mega tak pernah mau
tampil dengan pakaian minim, apalagi dandanan menor. Pun ia tak pernah
menyanyikan lagu-lagu nyentrik, yang memancing gerombolan anak muda bergoyang
di panggung. Jika harus manggung malam, ia hanya bersedia paling lama jam
sebelas malam. Hingga dua tahun melakoni profesi biduan, ia dipinang baik-baik
oleh owner penerbit Erlangga.
Aku menceritakan kisah Mega pada
ibu. “Hanya ada satu dari seratus biduan seperti Mega, dan adikmu belum tentu
bernasib sama dengan Mega. Pokoknya ibu tidak setuju. Titik.” Suara ibu
meninggi. Aku tak lagi berani berkomentar. Aku beranjak menuju kamar. Dan kau
yang menguping dari balik pintu pun memasang muka kecewa.
Besoknya dan besoknya lagi kau
terus membujuk Ibu. Kau mengancam tidak akan kuliah bila tidak diizinkan jadi
biduan. Akhirnya ibu menyerah. Dengan setengah hati ia memberi izin dengan
syarat Bang Yan harus menemani tiap kali kau manggung. Kau tak boleh berdandan
menor, apalagi berpakaian minim. Kau juga tak diizinkan bernyanyi dengan
musik-musik ganas yang memancing birahi. Ah, kau meloncat girang sekali.
Rupanya kau membuktikan
kata-katamu. Kau hanya menerima tawaran manggung dua kali dalam seminggu.
Selebihnya kau menghabiskan waktu di rumah dengan belajar, bahas soal dan
sesekali menonton. Sampai hasil ujian nasional keluar, kau menyabet nilai
tertinggi di sekolahmu. Ibu bangga. Kami semua bangga. Kebanggaan kami terasa
lengkap tatkala kau lulus di perguruan tinggi negeri dengan jurusan yang kau
idamkan.
Jelang delapan bulan kau jadi
biduan, Bang Yan tak lagi bisa menemanimu. Sebab ia harus bekerja sebagai
pelayan di food court setelah perkuliahan. Untunglah Ibu sudah mulai percaya
padamu, sehingga ibu mengizinkan kau pergi manggung sendirian. Selang dua bulan
saja kau sedikit demi sedikit berubah. Kau mulai pulang di atas jam sebelas
malam diantar seorang lelaki. Pakaianmu tak minim, tapi ketat. Membentuk jelas
lekuk tubuh mungilmu.
Berangkat kuliah pun kau tak lagi
sendiri. Seorang lelaki bersepeda motor gede selalu datang mengantar-jemputmu.
Ironisnya, lelaki itu tak pernah pamit pada ibu setiap kali membawamu. Kau tak
pernah mau menjelaskan siapa lelaki itu tiap kali ibu bertanya. Padaku pun kau
tak lagi mau berkisah. Kau juga mulai sering membantah omongan ibu. Hingga
suatu malam ibu sudah tak tahan.
“Mulai saat ini kau berhenti jadi
biduan!”
“Tidak. Ibu tak bisa melarangku.
Aku tetap jadi biduan,” suaramu meninggi satu oktaf dari nada bicara ibu. “Soal
lelaki itu, tak perlu ibu pertanyakan. Yang jelas dia baik.” Kau berlari ke
kamar dan membanting keras daun pintu, meninggalkan ibu terpaku berlinang air
mata. Batinnya tersayat. Perih. Kau tak peduli.
Malam itu Kak Ifa izin pulang agak
larut hingga tak menyaksikan perlakuanmu itu, sementara Bang Yan dikarantina.
Sebab dua hari lagi ia berangkat ke Jakarta mengikuti Speech Contest Nasional.
Jadilah aku sendirian menggamit hati ibu. Kusuruh ia istirahat. Sejam kemudian Kak
Ifa pulang dan aku menceitakan perlakuanmu itu padanya. Hampir saja Kak Ifa
mendobrak kamarmu, tapi kutahan. Kukatakan esok pagi saja bicara baik-baik
denganmu.
Malam itu ibu gelisah. Sesekali
terisak. Dalam waktu yang bersamaan kau sedang menjalankan misi. Entah setan
apa yang merasuki hingga kau tega membunuh hati ibu saat fajar mengintip bumi,
lewat memo yang memilukan.
Aku pergi bersama kekasihku, lelaki bermotor gede. Kuyakin ibu takkan
pernah setuju dengannya. Tapi aku mencintainya. Aku rela kemana pun dibawanya,
termasuk membawaku pada tuhannya.
Ibu terjatuh. Lama tak sadarkan
diri. Sementara aku, hatiku bagai dikuliti. Pun Kak Ifa dan Bang Yan. Satu
kesalahan yang tak termaafkan. Kau murtad!
*Cerpenku ini juara dua dalam sayembara cerpen internal FLP SU dan juga telah terbit di harian Medan Bisnis, 2011.
:-)
Tidak ada komentar
Posting Komentar