Tak ada yang lebih syahdu malam ini
selain ritmik hujan yang menggelayut mesra di atap rumahku, mungkin rumahmu
juga. Membuatku ingin bercerita sesuatu kepadamu. Ini tentang murid privatku
yang masih kelas 5 SD.
Dua hari yang lalu, tepatnya
senin sore, seperti biasa aku mengajar sepasang bocah kakak beradik yang masih
berkutat di bangku SD. Si sulung namanya Ilza, berbadan sedikit tambun, dengan
kulit hitam yang cukup legam, namun hidungnya mancung. Sekilas, dia mirip bocah
Hindustan. Dia tidak suka berpikir, tapi jago nyelutuk.
Sementara si bungsu bernama Nadin,
kelas 2 SD. Kontras sekali dengan abangnya. Gadis cilik ini berbadan tipis, berkulit
sawo, rambut lurus pendek setengkuk. Suka menggambar dan hobi bertanya. Gaya ngomongnya
lucu dan ketawanya gemesin. Bolak balik bongkar pasang binder. Urusan perasaan
jangan
ditanya, dia bocah paling adil soal menimbang rasa.
Saat belajar hendak dimulai, aku
pamit sebentar ke kamar mandi. Kurasa ini momen yang paling disukai mereka,
sebab bisa nyolong waktu tuk bermain. Meski hanya sekedar melempar bola bekel
sekali dua atau memutar gasing. Tak kurang dari lima menit daku kembali dengan
kaos kaki yang belum terpasang. Aku duduk, meraih buku sambil bertanya kabar
pelajaran di sekolah mereka. Tiba-tiba Ilza melontarkan kalimat yang tidak
kusangka-sangka.
“Miss, abang gak mau liat Miss,
kaos kaki Miss belum terpasang,” ujarnya sambil memalingkan muka.
“Miss tau kan aurat perempuan itu
yang boleh nampak cuma telapak tangan dan muka aja”. Ungkapnya bak hakim yang
sedang mendakwai tersangka. Daku terpelongo lalu melirik kakiku yang masih
lembab.
“Iya, ini Miss mau pasang.” Jawabku
sembari tersenyum malu dan bersiap make tuh kaos.
Berikutnya, dia melempar pandang
pada adiknya yang entah mengapa hari itu berbaju kensi. Itu kali pertama
sepanjang sejarah aku mengajar mereka Nadin memakai baju begituan. Ilza
nyelutuk lagi.
“Nadin, agama Nadin apa?”
“Islam lah,” jawabnya dengan
ekspresi kesal berbaur heran.
“Nadin taukan Islam itu sopan,
kok pake baju begituan?” Alahai….aku melotot bengong. Kagak nyangka nih anak
mendebat dua gadis sore ini. Nadin manyun dan memukul si abang. Tiba-tiba aku
tertarik memancing pemahaman si hitam Ilza. Lantas daku melempar satu kasus
padanya.
“Ilza, kalo nanti Nadin gede gak
pake jilbab boleh gak?”
“Oppss, jelas nggak Miss. Abang jitak
kalo gak nutup aurat keluar.”
“Ngapain juga abang ngurusin
Nadin, suka-suka Nadin lah,” si gadis protes.
“Iya lah, namanya abang sayang
sama Nadin, trus Nadin kan emang tanggung jawab abang.” Ucapnya gagah.
“Lha, itu mama gak pernah kok di
larang Om Gah kalo gak berjilbab. Padahal Om Gah kan abangnya mama. Apa bedanya
sama Nadin?” si gadis membela diri. Daku sempat shock juga dengan ucapan si
cerewet Nadin ini. Kupikir Ilza gak bakalan bisa menjawab lagi, paksa menyerah
kalah telak. Tapi nyatanya daku semakin terkejut dengan jawaban si abang tambun
ini.
“Mama ya mama, urusan dia sama
keluarganya. Urusan Om Gah juga dengan adik-adiknya. Gak tanggung jawab abang itu. yang jadi
tanggung jawab abangkan Nadin, keluarga abang.” Ucapnya penuh kemenangan. Si gadis
terdiam sambil tersenyum sejuta arti.
Wow…aku bersorak dalam hati. Heran,
takjub, salut, ah…entahlah…..semoga saja derap waktu membawanya semakin sholeh,
mengayom adiknya menjadi sholehah.
****
Hebat ya, Imam. Kelak, ketika aku
pulang ke rusuk kirimu, semoga saja Allah memberi kita keturunan yang sholeh
sholehah, hafiz hafizhah, qori qoriah, jadi generasi rabbani. Tentu saja,
sebelum mereka dikirim ke bumi, kita dulu yang harus sholeh sholehah. Bukankah kita
ini madrasah pertama kelak bagi mereka?
Sebab itu, jaga dirimu ya, Mam. Godaan
di perjalanan abaikan saja. Kau harus tiba di pintu rumahku dalam keadaan utuh
terbungkus iman.
Ini dulu ya,
Lain waktu aku berkisah lagi.
Assalmu’alaikum…
Tidak ada komentar
Posting Komentar