Binar mata itu tulus…..setulus mentari
menghangatkan pagi….sementara wajahnya tertunduk penuh harap..seperti
terdakwa yang sedang menanti putusan hakim….Namun dia harus sedikit
bersabar………
Aiihh, Aku jadi geli melihatnya. Sekaku itu rupanya menyampaikan niat yang notabenenya baik.
Terpaksa
aku angkat bicara, hitung-hitung mencairkan suasana. Sikawanpun
menanggapi dengan candaan. Seyogianya canda itu ku respon dengan tawa
ringan. Tapi kenyataannya, sesuatu malah berbulir disudut pipiku.
Ia tidak salah, sungguh ia tak tau apa-apa.
***************
Ku
tulis cerita ini sebagai pembuka suratku untukmu, Imam. Ini kisah yang
ku alami tadi siang. Maaf jika aku setiap minggu menuliskan surat
untukmu. Ku mohon jangan jenuh.
Kulanjutkan cerita tadi,
Tiba-tiba
saja candaan itu bermuara pada sesosok perempuan yang kukasihi. Sekilas
terasa sepele. Tapi pengaruhnya begitu dahsyat ke sendi jiwaku. Sigap
aku berdiri, lalu berlari kecil kearah dapur. Disana, kubiarkan bening
itu menetes bebas.
Ah! perasaanku terlalu halus. Melebihi halusnya beludru mungkin.
*&*&*&*&*&*&*&*&*
Imam,
aku memang tidak sendiri. Wajah-wajah polos adikku adalah penyemangatku
sekaligus hiburanku. Saudara sekandung ayah bundaku tiada henti
bertanya kabarku. Bahkan rekan-rekan sejawat merekapun sering
menyinggahiku di kota ini, sekedar ingin tahu keadaanku. Tapi tetap saja
hatiku mencari sesuatu, yaitu Kau, Imam. Bagaimanapun aku ini adalah
pecahan dari ragamu. Aku rindu asalku. Saat ini, aku sudah ingin segera
kembali ke tulang rusuk kirimu, Imam…..Izinkanlah….!!
Sudah sampai dimanakah engkau mencariku???
Tidak ada komentar
Posting Komentar