Aku duduk di ruang TV, sebab di ruang tamu itu tak ada lagi tempat.
Lagian nyaman juga kurasa terpisah ruang, jadi aku gak gerogi kali. Tak berapa
lama, Lati dan
Bu Sinar pun pindah ke dekatku. Jadilah ruang tamu itu lapak bapak-bapak dan ruang TV lapak emak-emak. Sesekali curi pandang juga lah aku. Tapi tetap saja aku belum bisa menghapal wajahnya yang seperti langit dan bumi dengan potonya itu.
Bu Sinar pun pindah ke dekatku. Jadilah ruang tamu itu lapak bapak-bapak dan ruang TV lapak emak-emak. Sesekali curi pandang juga lah aku. Tapi tetap saja aku belum bisa menghapal wajahnya yang seperti langit dan bumi dengan potonya itu.
Mengingat tak ada makanan apa-apa di rumah, aku pun beranjak ke
dapur untuk masak Mie Lidi. Aku yakin dia belum pernah memakannya. Lagian,
memang hanya itu bahan mentah yang ada di dapur. Kan kasian jauh-jauh datang
dari Bengkulu tak di kasih makan apa-apa.
Usai masak, kuminta Lati saja yang menghidangkan. Entah mengapa
kali ini tinggi kali rasa maluku. Lati enggan, tapi kubujuk-bujuk sampe mau.
Yeay! Aku sukses mengurung diri di dapur. Hehehe. Entah bagaimana, Bu Sinar pun
jadi ikut duduk di meja makan bersamaku, disusul Lati. Kami bertiga akhirnya
menyantap mie lidi itu dapur. Disela-sela suapan, kutanya lah Lati bagaimana pendapatnya
tentang lelaki itu.
“OK, cocok denganmu”, katanya
“Kok gitu? Lati kan belum ngobrol banyak”, aku menyelidik
“Dari cara bicaranya, pun dari aura wajahnya, feelingku berkata dia
orang baik. Ayuk, kalo dia OK jadikan terus, antarannya gak usah pake adat
Curup”, kata Lati langsung pada Bu Sinar. Aku melongok, menelan ludah. Berani kali
Lati ini bilang begitu.
“Aku istikharah dulu ya”. Semua tersenyum. Dan pembicaraan pun
merembet entah kemana-mana. Biasalah perempuan kalau sudah kumpul, bisa tiga bab
pembahasan per jam. Menyadari kami sudah lama meninggalkan para lelaki di ruang
tamu itu, kami bergegas gabung. Lagi-lagi aku gak dapat tempat. Terpaksa nyari
bangku tempel untuk bisa nimbrung. Tapi nyatanya sepatah kata pun tak terucap
dari bibirku. Hanya cengar-cengir saja mendengarkan obrolan mereka. Si lelaki
itu pun tak pula tanya-tanya padaku, jadi yaaaaaa...gitu deh.
Sampai waktunya mereka pamit, kami sama sekali tak ngobrol walau
sekata pun. Jangan heran kelen, karena perantara ta’aruf ini pun tak paham apa
itu ta’aruf. Ibu itu hanya mengikuti instruksi ponakannya saja. Jadi tak ada
moderator, tak ada acara tanya jawab dan diskusi ilmiah. Aku hanya kembali
mengangkupkan kedua tangan di dada dan tersenyum semanis mungkin mengantarkan
kepulangannya.
Aku meraba-raba hatiku, mencoba menemukan jawaban apa yang akan
diberi. Untuk lebih menguatkan, tentu saja aku istikharah. Do’aku masih sama,
segeralah pergi kalo bukan dia jodohku. Sampai dua hari sesudah pertemuan itu,
aku belum bisa memastikan jawabannya. Tapi jujur, hatiku anteng-anteng saja. Ringan
kali macam kapas. Paling yang sedikit terpikir olehku tentang statusnya yang
piatu, dan ya....kacamatanya itu. hehehe..
Esoknya, tepat 3 hari sesudah pertemuan itu, Bu Sinar nelpon lagi.
“Lia, katanya dia mau lanjut. Kau gimana, Ya? Kalo bersedia, dia
nanya mau diantar berapa dan maharnya apa?”
What? Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku cuma ketawa berkepanjangan,
ketawa yang misterius. Seumur hidup, baru dua kali aku ditanya soal berapa dan
apa mahar begini. Tapi serius, yang ini rasanya beda kali. Tak tergambarkankulah
pokoknya.
“Kok ketawa terus kau, Ya? Jawablah..mau apa nggak?”
“Hehehe..biarlah Bu!”
“Biar apa? Yang jelaslah”.
“Udahlah, Bu, ngomong sama Lati aja”. Kuserahkan henpon itu sama
Lati. Aku masih mendengar Bu Sinar teriak di seberang sana, “Woii, Ya..yang mau
dilamar itu kau, bukan Latimu”. Aku pasrah saja. Kalo udah OK Latiku, OK
jugalah aku.
Eiiits, tunggu dulu. Jangan kelen pikir Latiku ini otoriter. Udah entah
berapa lelaki di bawanya kerumah ini untuk dikenalkan denganku, tapi dia tetap
menuruti kata hatiku. Kalo kukatakan tidak, ya tidak, meskipun dia memberi
berbagai pertimbangan. Bahkan sangkin udah banyaknya orang ke rumah ini, begitu
dengar Bu Sinar mau bawa lelaki itu ke rumah, Pak Cik (suami Lati) sampe
nyeletuk, “Berhentilah ngenalkan lelaki sama Dahlia itu. gak bakal mau dia itu”.
hahaha..udah bosan kali dia kayaknya nengok aku yang sering menolak ini.
Jadi, aku nyuruh Bu Sinar ngomong sama Lati aja karena memang aku
sudah memberikan gambaran jawaban kepadanya. Dan dia menyimpulkan aku mau. Aku hanya
malu saja untuk bilang ‘iya’ langsung ke Bu Sinar. Cihuuyy...
Mahar dan uang antaran pun ditetapkan. Jangan kelen pikir gampang
aja urusan yang satu ini. Aku sampai menangis bombay menghadapinya. Aku tak
minta banyak-banyak, bahkan nominal dan gram karat emas itu sangat di bawah
standar untuk pasaran di kampungku. Jika menurutkan ego, aku ingin mahar dan
uang yang selangit. Tapi entah mengapa saat itu aku rela sekali mahar yang
sedikit saja. Tiba-tiba saja terbersit di hatiku bahwa pernikahanku ini harus
membawa hikmah di kampungku sana. Harus bisa merubah mindset masyarakat sana
bahwa pernikahan tak hanya perkara mahar dan antaran, tapi lebih dari itu;
barokah dan kehidupan sesudah pernikahan itu sendiri! Aku sampai berdo’a “Ya
Allah, jika lelaki ini adalah jawaban dari do’a-do’aku, tolong jangan biarkan
hal-hal bersifat duniawi membatalkan ibadah muakkad ini. Kuatkan
hatiku..kuatkan hatiku”.
Kadang-kadang urusan pernikahan ini sungguh tragis. Ada saja yang
batal menikah hanya karena tak cocok harga sinamot alias antaran, dan itu tentu saja pernah terjadi
di kampungku. Urusan malu pada tetangga lebih diutamakan dari segala-galanya. Dan
aku ngeri-ngeri sedap menyampaikan hal ini pada keluarga. Aku takut mereka tak
menerima jumlah yang kuminta. Tapi ajaib, jawaban mereka sungguh di luar
dugaan. Lega rasa hati.
Sampai di sini, urusan belum selesai. Aku meminta akad dan resepsi
dilaksanakan di kampungku, Barus tercinta. Jauh memang, tapi aku sudah
bertekad, jika tawaran tempat ini tak diterima, aku akan mundur baik-baik. Dari
dulu aku sudah berniat bahwa di mana pun aku merantau, dan orang manapun
calonku, aku harus menikah di Barus. Titik. Itu sudah harga mati, tak bisa
ditawar. Mungkin terkesan keterlaluan, tapi aku yakin jika sudah jodoh
segalanya akan mudah. Jarak puluhan ribu mil pun bisa dilipat-lipat.
Lati pun menyampaikan tawaran ini pada lelaki itu, tentu dengan
memberi penjelasan mengapa harus jauh-jauh ke sana walaupun aku sudah tak punya
orang tua kandung lagi. Lelaki itu sedikit tersentak. Dia tak menyangka bakal
menikah di tempat sejauh itu. Apalagi mengingat seluruh keluarganya di Palembang.
Dia tak yakin keluarganya akan bersedia mengantar. Jangankan kenal, dengar nama
Barus aja baru kali ini. Dia meminta waktu untuk memberi keputusan, tapi tak
belimit.
Sehari, dua hari....
Tak ada kabar sama sekali. Aku sudah menyusun rencana, dan siap
dengan segala kemungkinan buruk...
See u in the last episod.. :)
Tidak ada komentar
Posting Komentar