Ahha..sudah sebulan lebih meleset dari target. Mestinya kisah hari H ini
ditulis sehari sesudah postingan Napaktilas Pernikahan, Persil 4. Maaf ya konkawan kalau kelamaan
nunggu. *ciyeee..merasa amat ditungguin. Hihihi
Baiklah, silakan ambil secangkir kopi, kudapan ringan dan duduklah
bersantai. Mari simak acara prosesi akad nikah dan resepsi saya ini. :)
Minggu, 18 Oktober 2015 menjadi hari bersejarah dalam hidupku.
Semua rasa berbaur menjadi satu. Sedih, karena akhirnya harapan terbesar ibunda
tercinta nyata di hari itu, sedang dirinya sudah berada jauh keluar dimensi
bumi. Pun ayah yang tak bisa
menjadi wali sebab ia telah lebih dulu kembali ke genggaman Ilahi. Senang, karena akhirnya aku laku juga. Hahaa..
menjadi wali sebab ia telah lebih dulu kembali ke genggaman Ilahi. Senang, karena akhirnya aku laku juga. Hahaa..
Cemas, karena aku tak tau lelaki yang akan menjadi suamiku ini
benar-benar baik apa tidak. Bayangan lelaki pelit pun datang menghantui. Oh,
alangkah tersiksanya hidupku andai suamiku nantinya pelit, ngasih duit
perhitungan, apalagi kalau sampai uang belanja ditaksasi dulu baru ngasih, atau
malah pakai proposal pengajuan dana ke pasar sekalian. Tidaaaaakk!! Bukan
apa-apa kawan, aku jadi paranoid begini karena semasa aku gadis, bahkan dari
semester satu kuliah, entah berapa orang emak-emak yang curhat padaku sampai nangis
bombay perihal rumah tangganya. Dan setelah kurunut-runut, kebanyakan
ketersiksaan batin emak-emak ini karena duit. Bukan perkara kurang banyak, tapi
karena perhitungannya sang suami. Tapi kucoba-cobalah menenangkan diri. Kuingat
kata-kata yang pernah disampaikan omakku alias Bunda bahwa nasib kita tak sama
dengan orang. Kupikir-pikir iya juga. Karena Bundaku sendiri tidak pernah
mengalami tekanan batin perkara duit. Agak legalah aku sikit sambil berharap
nasibku sama dengan Bundaku.
Terharu, karena meski tanpa Ayah Bunda, aku bisa menikah dan
melaksanakan resepsi sebagaimana lazimnya orang-orang. Mungkin yang tak lazim
adalah besaran maharku. Sebab zaman sekarang ini khususnya di kampungku,
sarjana macam aku ini, plus cantik baik hati dan rajin pula menabung ke warung,
maharnya agak-agak elit. Sekurang-kurangnya emas murni 12,5 gram. Tapi aku
malah meminta sebesar lazimnya mahar orang-orang yang kawin lari di kampungku. Hehehe
Belum lagi kawan-kawan FLP Sumut yang berdatangan hampir satu bis
dari Medan, juga keluarga calon suamiku yang sangat qona’ah datang jauh-jauh dari
Palembang sana, macam kata Wali Band itu, Selatan ke Utara, sungguh menambah
keharuan yang mendalam. Dan puncaknya adalah ketika detik-detik ijab qabul,
sang mempelai pria diminta oleh penghulunya membacakan ayat suci Alqur’an.
Jangtungku serasa mau copot. Calonku ini bisa mengaji apa tidak? Makhroj dan
tajwidnya jangan-jangan belepotan, atau malah gak bisa ngaji sama sekali? Oh My
God.. Aku memejamkan mata di dalam kamar ketika dia mulai membaca ta’awuz.
Oh ya, perlu kukasih tau bahwa di kampungku sana, pengantin tidak akan
disandingkan sampai akad selesai dibacakan. Pengantin wanita alias Anakdaro
duduk di kamar ditemani induk inang dan beberapa keluarga, sedang sang lelaki
alias Marapule duduk di tempat akad yang sudah dirancang. Inilah salah satu adat
pernikahan Barus yang amat aku sukai. Jadi aku benar-benar telah halal ketika
sesaat lagi duduk di sampingnya.
Kembali ke Qur’an, aku menyimak khusyuk bacaannya. Rasa haru yang
membuncah terwujud dalam butiran air mata yang bergulir. Bundaku pasti bahagia
di sana mendapati menantunya sesuai keinginannya. Dan kefasihan bacaannya ini
menjadi kejutan pertama buatku. Ternyata keputusanku menerimanya tanpa perlu
pendekatan yang lama tak sia-sia. Aku lega sesaat, sebab setelahnya akan datang
kecemasan yang bukan saja mencopot jantung, tapi bahkan melumpuhkan seluruh
sendi-sendi tubuh. Apalagi kalau bukan kalimat sakral itu.
Aku berdo’a berulang-ulang. Berharap akad nikah ini lancar dan
berkah. Dalam kecemasan yang menjulang aku pasrah. Penghulu mulai terdengar
memandu sang wali dan mempelai. Aku semakin gusar. Sampai akhirnya terdengar
suara yang teramat gagah mengucap qabul Saya terima nikahnya Dahlia Siregar
binti Dahran Siregar dengan mas kawin ..... mas emas murni tunai. Allah...air
mataku tak terbendung lagi. Aku sesenggukan. Tak kupedulikan lagi pesan perias
wajahku tadi bahwa aku tak boleh menangis karena nanti merusak bedak. Kubiarkan
saja air mata itu mengambil posisi. Sah sudah aku milik seseorang, aku kini
adalah wanita bersuami. Aku berharap Ayah dan Bunda pun turut haru bahagia di
alam sana.
Setelah itu, barulah aku dituntun keluar menuju padanya untuk
menyematkan cincin di jariku. Amboii..
Karena cincin telah melingkar di jari manisku, maka saatnya aku
meraih lengannya dan mencium punggung tangannya. Ceesss..jantungku berdegup.
Ini sentuhan fisik kami yang pertama. Terlebih aku yang selama ini tak
pernah pacaran, maka momen seperti ini adalah hal yang tak bisa lagi
terlukiskan dengan kata-kata. Orang-orang mulai sibuk memotret, cekrak cekrek
cekrak cekrek sambil teriak ‘tahan-tahan’, sedang aku merapal do’a di
punggung tangannya itu. Berserah pada Allah, berharap jemarinya akan selalu
tertaut dengan jemariku, lengannya yang akan selalu merangkul pundakku menapaki
kehidupan hingga akhirat, dan dadanya yang akan menjadi tempat berlabuhku yang
nyaman.
Dan entah bagaimana, datang saja rasa tak percaya bahwa dia
sekarang adalah suamiku. Tanganku melingkar di lengannya dalam kekakuan. Dan di
kursi kerajaan sehari itu, kami saling bingung. Untung saja para undangan tiada
henti minta poto, serasa pamorku sehari itu lebih melejit dari Syahrini. Sehingga
kekauan itu bisa sedikit tercairkan.
Kami tak menggelar pesta hingga malam, meski muda-mudi di kampung
minta acara berlanjut. Bukan apa-apa, kami hanya ingin menyimpan stamina sebab
dua hari sesudahnya kami sudah harus berangkat ke Palembang sungkem mertua. Maklumlah,
mertuaku memang tak ikut ke Barus waktu itu karena kondisi kesehatannya yang
tak memungkinkan. Jadi acara malam yang seharusnya berpesta itu kami ganti
dengan pembukaan kado.
Malam mulai remaja. Rasa letih yang sedari tadi bertengger meronta meminta
rehat. Kami pun pamit pada keluarga yang masih betah mengobrol. Aku sendiri
merasa tak mampu tidur karena kecemasan lain mengganggu. Tapi apa mau di kata, dia
telah menjadi suamiku dan aku harus rela satu ruangan dengannya. Mati-matian
aku membunuh kecanggungan tapi tak berhasil. Dia pun begitu. Akhirnya kami
tenggelam dengan android masing-masing. Dari sanalah ia membuka percakapan,
memperkenalkan kawan-kawannya, keluarganya, lalu aku bercerita banyak hal, dia
menimpali, begitu seterusnya hingga malam kian larut dan kami tenggelam dalam
melodi cinta yang menggetarkan.
Selanjutnya, hanya ada hari hari yang penuh kejutan...
Tidak ada komentar
Posting Komentar