Dulu, waktu aku
masih kecil hingga Tsanawiyah, malu kali aku bermarga Siregar. Gak cantik
kurasa. pengen kuganti jadi Pasaribu atau Tanjung saja. Elok nian kurasa dua
marga itu. Jadi setiap guru mengabsen, agak-agak kusembunyikanlah mukaku
sangkin malunya disebut Dahlia Siregar itu. Lalu entah bagaimana, di bangku
Aliyah mulailah berkurang maluku tadi, meski belum sepenuhnya bisa berkata
lantang Dahlia Siregar saat berkenalan dengan siapapun. Hingga akhirnya aku
kuliah ke Medan, barulah terasa kali enaknya bermarga itu. Rupanya
kota Deli itu mampu meluruhkan rasa maluku selama ini.
kota Deli itu mampu meluruhkan rasa maluku selama ini.
Berawal dari
banyaknya kutengok orang yang sukses-sukses punya marga. Mulai dari artis,
penulis hingga pejabat. Bahkan ada orang yang ingin sekali punya marga karena
Batak itu kuat kali persatuannya katanya. Entah iya entah tidak, yang pasti
kalau sudah bertemu dengan sesama Batak ada saja keuntungannya kurasa. Itulah
yang kian menjadikanku bangga menjadi Boru Batak ini.
Kadang-kadang
aku keterlaluan juga memperlakukan margaku ini, karena seringkali kuperalat
untuk transaksi jual beli. Kelen taulah penyakit perempuan ya kan, Kalo sudah
belanja maunya murah nawarnya terjuan bebas tapi barangnya banyak dan
berkualitas. Apalagi anak kos macam aku dulu, macam prestasi besar kali itu
kalo bisa nawar jauh. Makanya kalo belanja kuajak kombur dulu tukang jualannya.
Sebisa mungkin kukemas cerita sampai dia tau kalo aku ini Siregar. Kalau sudah
begitu, tanpa kutawar pun penjualnya sendiri yang akan menawarkan bahkan
memberi bonus.
Sebut saja
penjual sate di Klambir V sana. Waktu itu aku bertandang ke rumah kawanku di
situ. Rupanya masih ada lontong dan daging eraya idul adha yang tersisa. Jadi
bikin satelah kami ya kan. Aku gak suka kali sate kuah kacang ini, jadi
kubilanglah sama kawanku itu kita beli kuah sate padang saja. Pigi lah kami
nyariknya, eh ketemu di jalan abang-abang sate dorong gerobak. Kami cegatlah,
trus kami mintalah kuahnya sepuluh ribu kalo aku gak salah. Sepanjang bungkusin
kuah itu kumainkanlah komburku ya kan. *eh tapi perlu tau juga kelen ya, aku
memang hobi kombur, jadi bukan semata-mata punya misi saja*. Dan ternyata,
abang satenya juga Siregar. Tagolak-golak lah kami sama kawanku ini. berapi-api
pulaklah kawanku itu memperkenalkan marganya. “Aku boru Ritonga, Bang”,
katanya.
“Bah,
sodarakunya semua kelen rupanya. Kulebihkanlah kalo gitu kuah kelen ini
Anggikku”, ucapknya sambil menyiduk kuah sate lebih banyak. Senang kegirangan
kali lah kami waktu itu. Selanjutnya, Siregar ini semakin membawa keberuntungan
dalam dunia muamalah.
Anehnya, kalau
baru pertama ketemu dengan orang pasti gak nyangka kalo aku ini Batak. Selalu
dibilang orang Jawa, Aceh, dan sesekali India. Nah, kalo India ini sepakat kali
aku, karena kulitku memang gelap, segelap Babaji yang jualan di kampung keling
sana. hehehe. Parahnya, pernah penjual pepaya sampe minta KTPku untuk
membuktikan bahwa aku ini Siregar, karena nengok mukaku gak percaya dia katanya
aku Batak. *merasa cantik kalilah aku ya kan*. Itulah proses jual beli pepaya yang paling
resmi seumur hidupku, padahal cuma satunya kubelik pepayanya, yang kecil pulak
itu. Begitu baca KTPku, gak bisa lagi lah dia berkilah. Akhirnya turunlah harga
pepaya untuk Dahlia Siregar ini. Cihuyyyyy.........
Sekarang aku
tinggal di Bengkulu ini makin bermanfaat margaku ini. Karena kelen taulah
jumlah Batak di sini tentu saja tak sebanyak di Medan. Jadi kalau sudah ketemu,
macam dapat sodaralah dirasa meski tidak serumpun, aku Batak Mandailing,
namboru itu Batak Toba. Ah ya, perlu kelen ketahui bahwa sebatak-bataknya
diriku, tapi menuturkan bahasanya aku tak terlatih. Karena Mother Tongue-ku
adalah pesisir. Tapi itulah ajaibnya bahasa, semakin sering didengar semakin
gampang pula menggunakannya. Makanya jangan heran kalo inang-inang danau Toba
lebih pande ngomong English daripada mahasiswa Bahasa Inggris semester 6.
Saat ini kalo
belanja ke pasar, nguping dulu aku
sedikit baru nanya barang. Kalo kudengar berbahasa Batak dia, kumainkan pulaklah
bahasa Batakku yang sangat sumbang itu. Tapi ngerti juganya inang itu kutengok.
Sampai akhirnya korting-kortinglah dikit harga itu dibuatnya. Biar kelen tau
aja dikit, mesti menawar, tak sadis kalinya aku menjatuhkan harga. Kalo inang
dan namboru itu gak ngasih harga tawar tak pala kupaksa sampai menjual nama
pejabat.
Ada satu lelaki
paruh baya bermarga Damanik, kupanggil dia tulang setelah aku menjadi
pelanggannya. Kalo nengok wajah tulang ini, tak meyakinkan kalo dia itu baik
hati. Tapi begitulah, tak selamanya cover itu menggambarkan isinya. Tampangnya
sangar tapi hatinya saudagar. Asal aku belanja ada saja yang dibonuskannya.
Kadang seledri dan daun bawang seikat, kadang timun dua bijik, kadang wortel
se-ons, dan tentu saja harga-harga yang sangat bersahabat. Makanya kalo belanja
ke tulang ini tak kutanya-tanya lagi berapa harga. Kuminta aja sesuai
keperluanku, abis itu kusuruh totalkan. Tanggal 5 Februari nanti mau pesta tulang
itu, Insya Allah aku datang membawa suami. Karena katanya pengen kali dia
kenalan dengan Abangku itu. Pernah suatu ketika dia bertanya,
“Marga aha do
orang rumah mi?”
“Margarin do
tulang”, jawabku mesem.
Terkikik tulang
itu. baru dia tau kalo suamiku bukan Batak. “Tak pa-pa lah. Yang ponting sayang
ma tu ho, pengertian, lembut, i do nomor sada namarumah tangga on”.
“i ma da tulang.
Alhamdulillah denggan do rohana”. Si tulang pun manggut-manggut.
Seterusnya,
marga Siregar ini telah menghantarkanku pada persaudaraan yang luas, kuat dan
nikmat di tanah rantau. Tapi jangan salah, tak semua Batak itu bisa diajak
kompromi. Pengalaman pahitku dengan si Batak penjual buah akan kuceritakan lain
waktu. Ini dulu ya! Sampai ketemu...
Tidak ada komentar
Posting Komentar