Maka
lebaran 2017 telah kami jadwalkan untuk lebaran di Barus. Jauh memang. Butuh waktu
sekurang-kurangnya 24 jam dari Bengkulu untuk tiba di sana dengan jasa travel. Kalau
ada sesuatu yang tak terduga di jalan, perjalanan bisa sampai 30 jam bahkan
lebih. Tetapi sejauh-jauhnya kampung, menempuhnya tetaplah menjadi sesuatu yang
menggembirakan. Saat ini belum ada transportasi udara yang langsung ke sana. Yang
ada harus transit dulu di Jakarta (Bengkulu-Jakarta-Medan). Itu pun dari Medan
harus naik travel lagi selama 12 jam baru sampai ke Barus sana. Atau bisa ambil
tiket Bengkulu-Jakarta. Dari Jakarta ambil tiket lagi ke Bandara Pinang Sori. Dari
sini kita hanya menempuh perjalanan 3 jam lagi. Biayanya gueeedee cuy. Apalagi jelang
lebaran, tusla pesawat sungguh bikin dompet cekak mengenaskan.
Jadi
lebih efisien duit dengan memakai jasa travel meski harus berkorban waktu dan
pinggang yang pegal membahana. Jauh-jauh hari aku sudah menyicil persiapan
mudik ini. Tapi lagi-lagi kenyataan bicara lain. Lima bulan sebelum lebaran
tiba, aku positif hamil. Hadiah terbesar dari Allah ta’ala sekaligus kenyataan
yang menggembirakan setelah 15 bulan kami menunggu. Maka saat itu juga kami
batalkan kepulangan ke Barus. Kami takut ada apa-apa mengingat perjalanan yang
jauh. Apalagi ternyata Allah menganugerahi proses kehamilan yang cukup
melelahkan; mabok berkepanjangan. Sehingga batal mudik menjadi pilihan terbaik.
Sedih?
Manusiawi. Jauh-jauh hari sudah terbayang ketupat ketan kampung yang gurih,
lontong mie sayur yang punya ciri khas tersendiri, tape, bongkol, dan lapek kue
kocci yang maknyos, suara ombak depan rumah yang gemuruh, semilir angin pantai
yang sejuk, dan pesona sunset yang tak kalah indah dari Bali, dan tentu saja
wajah-wajah keluarga yang ngangenin banget. Tapi lagi-lagi, bahwa hidup adalah
penerimaan. Menerima dengan ikhlas kenyataan yang tak sesuai dengan rencana. Allah
selalu punya cara mengganti kesedihan hambanya. Gerakan-gerakan si jabang bayi
di dalam perut sungguh menjadi pengobat hati yang lara.
Sah
sudah kami akan lebaran di Bengkulu saja. Bak kata suami, “sesekali kita
nikmati lebaran di tanah rantau, Dek. Berbaur dan silaturrahmi dengan tetangga senasib yang tidak
mudik juga, sekaligus belajar lebih mencintai rumah sendiri. Abang juga sedih karena
ini akan menjadi lebaran pertama tanpa kumpul keluarga. Tapi Allah maha
mengatur. Ikhlas ya”. Aku mengangguk.
Namun
seminggu sebelum lebaran, untuk kesekian kalinya aku harus menerima kenyataan; bahwa
aku harus kehilangan mertua yang cuma tinggal satu-satunya. Allahu rabbi..
Kesedihan
memeluk erat saat itu. Betapa takdirku tak mengizinkan aku berlama-lama
memiliki orang tua. Aku anak pertama dan harus menikah dalam keadaan yatim
piatu. Begitu jodoh menjemput pun aku harus menerima mertua yang hanya tinggal
satu; Bak. Sedang emak si abang sudah lebih dahulu berpulang 2011 silam. Dalam do’a
aku selalu meminta Bak sehat dan panjang umur hingga bisa menimang cucu dari kami.
Tapi saat ia dikabarkan masuk rumah sakit, ulu hatiku sudah ngilu. Aku merasa
Bak akan meninggalkan kami. Dan firasatku benar. 23 Ramadhan Bak mengucap salam
pada bumi.
Kepiluan
kian purna karena aku tidak bisa ikut terbang ke Palembang, meski aku ingin
sekali mencium Bak untuk terakhir kalinya. Suami berat hati mengajak karena
kondisiku yang tengah kepayahan. Keluarga di sana pun berpikiran yang sama.
“Bukan
kami tak senang kamu ikut, Dek. Sungguh kami berharap anak mantu Bak kumpul
semua. Tapi Bak sudah selesai, sedang kamu ada makhluk yang harus di jaga di
dalam. Kami khawatir kamu gak kuat, sedang itu sudah ditunggu lama. Ikhlaskan Bak.
Do’akan Bak. Jangan sedih ya, Dek”, begitu kata kakak ipar bicara lewat telpon.
Lagi-lagi
aku harus mafhum; bahwa hidup adalah penerimaan. Meski pahit aku harus
menelannya. Jadilah suamiku saja yang terbang pagi-pagi bersama Garuda menuju
kota pempek itu. Sedangkan aku di rumah bersama do’a dan air mata yang terus berurai.
Aura lebaran tak lagi indah dipandang mata.
Tiga
hari sesudah Bak meninggal, suamiku kembali ke Bengkulu. Tanggung sebenarnya,
karena 3 hari lagi lebaran menjelang. Tapi ia teringat diriku. Tentu akan
bertambah kesedihan jika aku harus berlebaran tanpanya. Akhirnya ia memutuskan
pulang. Keluarga pun mendukung. Dan saat takbir berkumandang dari puluhan
menara mesjid, hatiku basah. Kami menikmati lebaran di bumi raflesia ini setegar
mungkin. Hambar memang. Tapi itulah hidup, segalanya tentang penerimaan. Menerima
ketertundaan mudik, menerima orang tua yang pergi untuk selamanya, dan menerima
rencana-rencana Allah yang penuh kejutan.
Namun
di sisi lain, lebaran tahun ini menjadi punya cita rasa yang berbeda saat kami
memutuskan silaturahmi ke Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) pasca sholat ‘id. Akan kubagi
kisahnya di postingan berikutnya.
Ah, lebaran memang punya cita rasa tersendiri bagi setiap orang. Ada yang sedih, ada yang riang, ada pula yang cemas soal berat badan. Simak saja lebaran ala keluarga yang satu ini, yang tetap menjaga kesehatan meski suka cita lebaran menyuguhkan makanan yang uwweeeenaaak nak nak..
Ah, lebaran memang punya cita rasa tersendiri bagi setiap orang. Ada yang sedih, ada yang riang, ada pula yang cemas soal berat badan. Simak saja lebaran ala keluarga yang satu ini, yang tetap menjaga kesehatan meski suka cita lebaran menyuguhkan makanan yang uwweeeenaaak nak nak..
See U
...
Mantapp
BalasHapusnasihat yang indah kak, banyakin fotonya ya
BalasHapusbagus ceritanya kak,, Menginspirasi. Terimakasih udah berbagi ya,..
BalasHapus