Semua umat juga sepakat bahwa tiada manusia yang
sempurna. Istilah kerennya “no body is
perfect”, sebab segala kesempurnaan hanya milik Allah semata. Meski begitu,
dari keseluruhan makhluk ciptaan Allah, manusialah yang paling baik bentuknya
dan paling dimuliakan sebab dibekali akal dan pikiran, serta kekurangan dan
kelebihan. Dengan bekal tersebut diharapkan manusia dapat membaca tanda-tanda
kekuasaan Allah, membedakan yang baik dan buruk, menggali segala ilmu dan
mengelola warisan bumi sebaik-baiknya hingga bermuara pada takwa kepada Allah
swt.
Tentu saja manusia memiliki kelebihan dan kekurangan
yang berbeda-beda. Ada yang lebih dalam harta namun tak piawai memanfaatkannya,
ada yang lebih dalam kata sehingga ia bisa menjadi motivator, inspirator atau
penulis, dan kelebihan lain yang dengannya tiap individu mampu mengembangkan
dirinya untuk mencapai kesejahteraan hidup. Seiring dengan pengembangan
tersebut, akan bermunculan berbagai kritik yang sebagian bersifat membangun,
dan sebagian yang lain bersifat menjatuhkan.
Ketika kita menjadi objek kritik, maka kita harus terima
dengan lapang dada sembari menyaring kritik yang bermasukan. Kritik yang
kira-kira bermanfaat untuk perbaikan, ambillah. Namun jika berupa kritik yang
tidak baik dan menjatuhkan, abaikanlah. Bagaiamanapun, mengharapkan semua
manusia sepakat dengan kita adalah sesuatu yang mustahil. Tetapi di suatu
waktu, justru kitalah yang mungkin akan mengkritik orang lain. Nah, ketika kita
pada posisi mengkritik, maka gunakanlah teknik kritik yang diajarkan Islam.
Kita bisa merujuk pada kisah nabi Ibrahim yang mengkritik ayahnya saat
menyembah berhala.
“Ingatlah ketika
Ibrahim berkata pada ayahnya, “wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesutau
yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolonongmu sedikit pun?
Wahai ayahku! Sesungguhnya telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak
diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu
jalan yang lurus./” (Q.S. Maryam; 42-43)
Dari ayat di atas, kita bisa melihat bagaimana Ibrahim
mengkritik ayahnya dengan santun tanpa langsung memvonis. Padahal ayahnya sudah
jelas-jelas sesat. Ibrahim malah terlebih dahulu mengajak ayahnya berpikir
tentang sesembahannya yang tidak bisa melihat, mendengar, apalagi menolong.
Kemudian Ibrahim tetap bersikap rendah diri saat memberikan saran terhadap
ayahnya dengan mengatakan bahwa ia mempunyai “sedikit saja ilmu” untuk menempuh
jalan yang lurus. Beliau sama sekali tidak menunjukkan sikap sombong dengan
mengatakan bahwa beliaulah yang lebih tau dibanding ayahnya.
Begitulah seharusnya yang kita lakukan saat mengkritik
orang lain. Jangan serta merta menyalahkan objek kritik lalu menunjukkan bahwa
kitalah yang paling tau, paling pintar. Apalagi jika terkesan menggurui,
dijamin objek kritik tidak akan terima. Bukannya membawa manfaat, malah bisa
menimbukan konflik baru antara yang megkritik dan orang yang dikritik.
Muhammad Assad, dalam bukunya Notes From Qatar 2 membagikan beberapa seni dalam mengkritik.
Pertama, luruskan niat. Ketika kita hendak mengkritik siapapun, maka niatkanlah
bahwa tujuan kritikan kita semata-mata agar objek kritik mampu bergerak menuju
kutub positif dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Bukan malah bertujuan
untuk membongkar aibnya kepermukaan.
Kedua, lihat situasi dan kondisi. Hindari mengkritik
orang lain di depan khalayak ramai atau saat objek kritik sedang merasa lelah
dan penat. Sebab pada kondisi ini sangat tidak kondusif memberikan pencerahan
dan kritikan. Ketiga, jangan emosi. Bagaimanapun sesuatu yang disampaikan
dengan luapan emosi yang tak terkendali akan menghasilkan kemudharatan. Maka sampaikanlah
dengan perlahan, tenang dan nyaman.
Keempat, pakai bahasa yang santun. Seperti nabi Ibrahim
tadi, gunakanlah bahasa yang mampu memikat hati objek kritik tanpa ia merasa
sedang digurui atau dikecam. Dengan begitu, segala masukan yang kita berikan
akan bermanfaat untuknya dan ia bisa menerima dengan ikhlas. Terakhir, jangan
mempermalukan. Ini juga sangat berkaitan dengan bahasa dan cara yang kita
gunakan. Jangan terus menerus memojokkannya. Itu juga alasan mengapa harus
dihindari mengritik depan orang lain, sebab objek kritik bisa malu sehingga
mentalnya jatuh. Akhirnya ia malah terpuruk pada jurang yang curam.
Demikianlah Allah telah mengatur segala sesuatunya
dengan apik dan rapi, sehingga terhindar pertentangan, percekcokan maupun
perkelahian. Semakin nyatalah bahwa Islam itu benar-benar agama yang rahmatan
lil ‘alamin. Semoga kita dapat
menerapkan teknik kritik yang sesuai dengan ajaran Islam sehingga kritik yang
kita berikan bersinergi dan sehat guna membangun kehidupan yang lebih baik.
betul juga ya mbak, even itu kritik haruslah elegan. sip sip sip
BalasHapusiya dong..biar gak penampilan aja yg elegan. hehehe
HapusTerima kasih sudah diingatkan, kadang kita suka lupa ya, apalagi mengkritik orang- yang gak kita sukai
BalasHapusitulah perlunya ukhuwah; saling mengingatkan kepada kebaikan. :)
Hapussetuju mbak apalagi sekarang banyak orang yang mengkritik sesuai kehendakya sendiri
BalasHapussemoga bukan kita yg seperti itu..
Hapus