Masuk bulan ke sembilan usia kandunganku, rasa di hati mulai bercampur aduk. Ada rasa gak sabar ingin melihat wajah si buah hati, dan tentu saja ada juga rasa takut akan bayangan persalinan yang kata orang-orang sungguh mempertaruhkan nyawa. Tapi sungguh, apa pun yang terjadi aku siap menghadapi kecuali satu; OPERASI!
Jauh sebelum mengandung, aku selalu berdo’a pada Allah agar aku tak pernah mengalami operasi apa pun seumur hidup. Meski zaman now operasi bukan lagi hal yang tabu, tetap saja aku ngeri membayangkannya. Sebab itu, sejak awal kehamilan aku terus mensugesti diri bahwa aku mampu melahirkan secara normal, tak lupa pula aku memastikan pada dokter bahwa secara fisik dan posisi kandungan aku juga bisa normal.
Menurut dokter, perkiraan aku akan bersalin sekitar tanggal 6 November 2017. Dalam rekaman medis sejak trimester pertama hingga usia kehamilan hampir matang, semuanya baik-baik saja. Namun di tanggal 12 oktober, saat itu usia kandungan 34 minggu, tensiku naik; 150/100. Alahoiiii...
Seumur-umur aku gak pernah darah tinggi. Sedemam-demamnya aku, alhamdulillah tensi selalu normal di batas 100-120/70-80. Lha ini, aku tak merasakan gejala apa-apa tetiba tensi sudah di angka ini. Dokter sih gak bilang apa-apa. Jadi aku snatai aja. Namun seminggu sesudah dari dokter, aku ke bidan. Ah ya, kuberi tahu kalian bahwa selain ke dokter, aku juga rutin periksa ke bidan. Karena memang rencanaku melahirkan di bidan aja. Begitu di tensi sama Bu Fitri (nama bidan saya), tensi masih saja segitu. Aku kaget. Masa’ iya seminggu tensi gak turun-turun?
Kulihat wajah Bu Fit ragu-ragu. Aku mulai cemas. Kuberanikan bertanya,
“Ada apa Bu Fit?”
“Tensi kamu. Ini sudah dekat persalinan. 6 November itu hanya perkiraan. Bisa jadi maju. Bisa tepat, bisa juga mundur”.
“Lantas apa hubungan tensi dengan persalinan?”aku menyidik
Bu Fit berusaha senyum setenang mungkin tapi cantik, eh, pasti...hehehe
“Jadi gini. Kalo tensi tinggi kemungkinan untuk normal itu sedikit. Saya juga gak berani mengambil resiko. Saat kontraksi terjadi, darah otomatis naik. Jika sebelum melahirkan saja tensi sudah sebegini tinggi, ke angka berapa lagi saat akan bersalin?”
Aku tegang. Tidak, tuhan..aku tidak mau operasi.
“Beri saya obat, Bu”, pintaku
“Maaf, saya tidak berwenang memberikan obat. Sebaiknya kamu periksa lagi ke dokter, minta obat dan berikan hasil diagnosanya pada saya”.
Aku tau bidan ini tak mau mengambil resiko. Sebab pada umumnya wanita hamil tak boleh minum obat.
“Baik,Bu”
Sepulang dari sana, aku langsung nyari seledri untuk di rebus. Dari pada minum obat lebih baik minum yang alami saja. Tuh seledri kurebus lalu kuminum tiap hari. Kata orang kalo mau mujarab seledrinya di blender trus diminum. Tapi aku ogah. Di rebus aja rasanya udah ‘WOW’, konon lagi di jus. Ampoooooon dijeeeee..
Kecemasanku makin mendominasi saat aku tensi ulang sama tetangga yang kebetulan bidan di sebuah klinik di kota ini. Hanya saja dia gak buka praktek mandiri. Kalo tidak, tak perlu aku jauh-jauh ke Pagar Dewa sana mencari bidan. Aku tiap malam datang ke rumahnya, tapi hasil tensiku masih segitu juga. dia juga ikutan cemas. Ingat pengalamannya dulu melahirkan putra pertamanya terpaksa operasi karena tensinya juga tinngi; 160/100. Jiwaku makin tak karuan. Kugencarkan lagi merebus obat. Kali ini tak lagi seledri, melainkan daun alpukat. Minum lagi, tensi lagi. SAMA! Allah...
Mau ke dokter Fatma rasanya tanggung. Sebab tanggal 28 Oktober merupakan jadwal kontrolku padanya. Akhirnya ku WA saja beliau. Kujelaskan apa yang terjadi, lalu beliau memberi resep yang aman untuk bumil.
Itu obat untuk 3 hari. Setelah itu datang kontrol ya.
Baik, Dok. Kebetulan jadwal kontrol memang 3 hari lagi, tanggal 28.
Begitu chating WA terakhir kami. Segera kutebus tuh obat ke apotik. Lalu kuminum sesuai petunjuknya. Sudah 3 kapsul kutenggak, tapi lagi-lagi, hasil tensi masih di angka yang sama. Allah... Do’a kugencarkan, nazar kuikrarkan. Kuyakinkan bahwa Allah maha segala. Apapun yang terjadi aku harus bersalin normal. *ngeyel kan ya? Iya banget. Takut kali aku operasi woiii.
Kuteruskan minum resep yang diberi Dokter Fatma, sembari berharap masih ada keajaiban. Tanggal 25 malam, pinggangku sakit secara berkala. Tidurku jadi terganggu malam itu. Tapi aku sama sekali tak berpikir aku akan melahirkan. Sebab yang kutau kalau mau melahirkan ada tanda-tanda berupa keluarnya flek, darah atau air. Paginya, sebelum berangkat ke sekolah, aku mampir ke Bu Fitri, disambut oleh asistennya.
“Ada keluar flek atau dara?” tanya sang asisten.
“Tidak”
“Ok. Tunggu bentar ya, saya panggilkan Bu Fitri”.
Saat si asisten memanggil Bu Fit, aku numpang ke toilet. Dan what? Ada flek darah di pakaian dalamku. Lantas kuberitakan hal ini pada Bu Fit. Beliau segera memeriksa.
“Baru mau bukaan. Pengalaman seperti ini berbeda-beda. Bisa jadi melahirkan hari ini juga, bisa jadi besok, bisa jadi juga minggu depan. Pulanglah dulu. Mau beraktivitas boleh. Tapi jangan terlalu lelah, sebab kamu tensinya tidak normal”.
Akhirnya kuputuskan untuk tetap pergi ke sekolah. Aku terlambat. Tapi saat kuterangkan alasan keterlambatanku, ruang guru geger.
“Kenapa kau masih masuuuuuk? Berani amat”
“Biarlah yuk, masih lama juga”. Dan aku sukses menuntaskan jam hari itu berteman rasa sakit yang datang dengan ritme yang teratur.
Malamnya, tepatnya malam Jum’at, rasa sakit di pinggangku makin menjadi-jadi. Rasa mau putus. Tidurku berpindah dari kamar ke ruang tengah hingga ke samping kamar mandi. Tiap datang rasa sakit aku bertengger di mesin cuci. Bang Sunardi juga ikutan tak tidur. Jam 3 malam, darah keluar. Aku tak sabar menunggu pagi. Sakit ini kian menyiksa. Akhirnya jam 8 pagi kami ke tempat bidan Fitri lagi. Langsung kubawa saja semua amunisi bersalin. Karena kuyakin hari itu aku akan melahirkan.
Sampe di sana, aku diperiksa kembali. Tensi masih tinggi. Kulihat para asisten itu berbisik-bisik. Aku tak tenang. Aku memohon pada Allah untuk tuntas bersalin di tempat ini saja. Jangan sampai ke rumah sakit yang berujung ruang operasi. Jam 9 pagi baru bukaan satu. Sedang sakitnya aku sudah tak tahan. Tapi sebisa mungkin aku tak meratap. Kugigit saja bibir tiap kali datang rasa sakit itu.
Jam 11.30, tensiku masih di angka 150/100. Tapi batinku keukeuh untuk tetap lahiran normal. Ada Allah yang maha penolong. Pukul 12.30, Bu Fitri periksa dalam lagi. Bukaan 6. Tensi 120/80. Allahu akbar! Keajaiban benar-benar terjadi. Saat keyakinan meraja, segalanya bisa berubah. Benarlah Allah bersama prasangka hambanya. Dan aku juga yakin tensi itu normal juga berkat suamiku yang bisa saja sedang berdo’a di mesjid usai sholat Jum’at.
Sekitar pukul 14, air ketuban merembes dan rasa sakit semakin gencar. Bu Fit memberi instruksi agar tidak mengedan sebelum datang rasa sakit yang amat sangat. Di dampingi suami terkasih, aku terus berdo’a sambil menahan rasa sakit. Akhirnya jam 15, aku berjuang antara hidup dan mati. Nafasku pendek, berkali-kali ngedan bayiku belum juga keluar. Hampir saja aku menyerah, kehabisan tenaga.
“Bayinya sudah dipintu. Ini kepalanya. Ini anak kamu, tolong ngedan yang semangat dan kuat. Rapatkan gigi dan ngedan marah. Ayoooo..kasian dedeknya”.
Aku sudah tak kuasa lagi. Gak kuat, gak sanggup, sungguh! Tapi demi mendengar kata-kata Bu Fitri, dan melihat wajah suamiku yang memerah menahan air mata sambil tetap memberi sokongan, maka kukumpulkan tenaga yang tersisa dan ngedan sekuat-kuatnya. Allahu rabbi....bayiku keluar di detak jarum jam 15.10 WIB, Jum’at 27 Oktober 2017. *Jadwal kontrol ke dokter Fatma tanggal 28 resmi dibatalkan*
Jangan tanya apa yang kurasakan saat itu. Aku sampai tak bisa lagi menangis, meski saat itu aku langsung teringat pada almarhum Bunda yang semasa hidup pernah kubantah. Menyesal semenyesal-nyesalnya. *Bun, kuyakin sebelum aku minta maaf padamu, maafmu sudah duluan hadir. Sebab pada dasar palung hati seorang ibu selalu ditemukan kata maaf. Semoga kenyang pahala di sana ya, Bun*
Pada Allah, tak kan terbayar kasih dan kebaikannya meski aku dan suami bersujud seribu malam. Perjuangan belum usai. Merawat, membesarkan dan mendidik baby Ney merupakan perjuangan panjang yang harus kami jalani meski tertatih. Semoga kami bisa menjadi orang tua idaman, jadi teladan yang baik dan amanah. Aamiin..
Kutulis jejak ini dengan air mata haru.
Senin, 4 Desember 2017
Di bawah langit Bengkulu yang gigil.
*oh ya, meski merasakan sakit yang amat sangat, akhir 2018 aku ingin hamil lagi, untuk anak kedua, ketiga, keempat....
See u, guys..
Ya rabb, bersyukur tuh mbak lia, Alhamdulilah si baby sehat dan ibu selamat, perjuangan jadi seorang ibu akhirnya dirasakan ya :)
BalasHapusIya mbak ika..luar biasa.
BalasHapusAlhamdulillah. Selamat atas titipan kecilnya Mba. Semoga tumbuh jadi anak penyejuk hati orang tuanya. :)
BalasHapusWah... keren nih mbak Lia, perjuangannya luar biasa, bahkan tahun depan udah ada rencana hamil lagi ^^
BalasHapusPerjuangan menjadi seorang ibu itu luar biasa ya mbak.. Ya Allah.. Semoga bisa jadi anak saleh anaknya mbak.. ^^
BalasHapusDuh aku terharu bacanya mba ��
BalasHapusMoga baby nay selalu sehat dan tumbuh ceria
Perjuangan seorang ibu memang luar biasa ya makanya sampai dibilang surga berada di bawah telapak kaki ibu.
BalasHapuswah perjuangan seorang ibu ya, selamat ya mba.. "Ngedan Marah' hehe baru tau istilah itu
BalasHapusSama..saya juga baru dengar itu. Hehe
HapusAih aku serasa ikutan disana saat Teta melahirkan usai baca tulisan ini masyaAllah ^^
BalasHapuslucunya dedek bayinya.. hhhee
BalasHapus