Waktu itu, Rabu, 6
November 2013, aku memulai aktifitas dengan kondisi tubuh yang sedikit gontai.
Sebab sehari sebelumnya aku menguras tenaga ekstra untuk sebuah amunisi yang
mendadak dangdut; Melatih Rebana dalam kurun waktu 10 jam nonstop. Istirahat
hanya sekedar makan dan ritual sholat.
Grup ini akan ditampilkan Rabu malam ba’da magrib. Maka jadilah aku
menguras energi sepanjang Selasa. Adalah tidak mungkin sebenarnya mencapai
target menggondol juara dalam ajang festival tahunan ini dengan waktu latihan
yang teramat irit begini. Ini benar-benar praktik “kapan kebelet, saat itu jua
menggali lobang”. Tak ada akal sehat yang menerimanya. Tapi melihat harap yang
menjuntai di wajah petinggi desa ini, maka puing-puing optimis berhasil
kukumpulkan. Paling tidak, grup ini harus tampil maksimal dan tidak
malu-maluin. Berharap menang tentu, tapi ini benar-benar harapan yang tau diri.
Andai tertakdir belum mengisi tiga deret jawara, maka takkan ada rasa patah
hati.
Akhirnya aku tiba di rumah pukul 21 Selasa malam. Bertemu dengan
kasur adalah kebahagiaan tak terkira saat itu. Aku terlelap hingga subuh
menjelang. Jika tak mengingat sholat itu wajib, mungkin aku akan memilih ngorok
hingga matahari sepenggala. Macam mau remuk rasanya otot-otot ini. Apa daya,
tanggung jawab telah melekat jauh sebelum keadaan ini ada. Maka dengan segala
daya yang tersisa, aku berangkat ke sekolah menunaikan kewajiban.
Di sinilah peristiwa itu bermula. Mati-matian aku menahankan agar
tak terkesan loyo di depan para bocah-bocah haus ilmu itu. Pun di hadapan
rekan-rekan pendidik. Aku berusaha riang seriang bidadari di atas pelangi. Tapi
sekuat-kuatnya aku, lemah itu merundung jua.
Saat azan zuhur bergema, para siswa berlarian ke mesjid untuk sholat
berjamaah. Kebetulan guru yang bertugas sebagai imam hari itu tak tampak batang
hidungnya. Mau tak mau, aku meminta kepala sekolah yang memimpin sholat siang
itu, sebab hanya ia lelaki yang tersisa di kantor saat itu. Ia berkenan, tapi
dia bingung sebab ia harus menjemput anaknya di TK.
“Biar saya yang jemput Ihsan, Pak”, aku menawarkan.
“Jika tak merasa direpotkan, OK lah”, ucapnya sambil bergerak menuju
kamar mandi untuk wudhu. Dan aku bergerak mengambil Tom Cat (red. motor) di
pelataran sekolah. Aku menyisir jalan, gang, hingga akhirnya aku membawa Ihsan
ke sekolah.
Setelah itu, aku bergegas mengambil air wudhu dan melangkah cepat
menuju mesjid. Saat tiba di tangga, jama’ah telah usai. Anak-anak kembali
berlarian menuju pintu, mengambil sepatu lalu memasangnya dan dengan riang hati
pulang ke rumah. Jadilah aku sendirian berdiam di mesjid besar berlantai 2 itu.
Saat salam sholat usai, aku merasa badan ini tak sanggup lagi dibawa berjalan.
Mataku sedikit berkunang-kunang, pemandangan sekitar seakan tak wajar.
Jangankan bangkit, membuka mukena pun aku merasa berat. Lantas dengan pasrah
kugolekkan diri di atas sajadah panjang yang tersusun. Tak sampai lima menit,
aku tak tau lagi apa-apa. Aku melanglang buana ke dunia lain. Lelap.
Di luar sana, orang-orang kecarian sosok diriku.
“Mungkin masih zikir di mesjid”, pendapat seorang guru.
“Tapi ini sudah di ambang batas. Masa’ sampe bel pulang begini dia
belum kembali juga”, ucap yang lain.
Sementara seseorang yang lain meminta Aji, anak salah seorang guru
di sekolah itu untuk mencariku
ke mesjid. Tak lama ia kembali ke kantor sekolah
dengan nafas ngos-ngosan dan muka pucat pasi.
“I.ii.iibuuu, Buk Dahlia terkapar di mesjid. Mu..mungkin pingsan”.
Seisi kantor berlarian. Guru-guru bertumit tinggi berhasil memecah
rekor lari secepat kilat dan menaklukkan lobang-lobang jalan menuju mesjid
dengan sempurna. Sementara warga sekitar langsung berkerumun dan melakukan hal
yang sama. Bahkan ada yang lagi menyuap nasi tak sadar berlari sambil membawa
piring makannya menaiki anak tangga mesjid. Satu gang geger.
Yang ada di kepala orang-orang saat itu adalah aku dipukul seseorang
saat sholat dan tak satu pun ada yang tau. Lalu aku terkapar tak sadarkan diri.
Bahkan ada yang sudah berpikiran aku meninggal, sampe terucap kata-kata,
“alangkah bagusnya Lia meninggal di mesjid”.
Begitu di mulut pintu, Bu Gus teriak sekencang-kencangnya memanggil
namaku. Serta merta aku tersentak dan kebingungan. Aku tak mengerti kenapa orang
rame berlarian ke arahku. Ada yang berucap Alhamdulillah tak apa-apa, ada yang
ngos-ngosan menapaktilasi ia yang berlari kesetanan tadi, hingga tak berasa
kalo ia sedang memakai tumit tinggi, dan macam-macam lagi. Yang pasti, aku
langsung diinterogasi apa sebenarnya yang terjadi. Kenapa tak balik-balik dan
kenapa pula terlentang di mesjid pakai mukena. Setelah kujelaskan, barulah
hiruk pikuk reda. Namun tentu saja menyisakan suasana yang teramat memalukan.
Aku meminta maaf kepada rekan-rekan guru yang telah panik karena
keletihan yang menderaku. Sementara pada warga, aku tak berani menampakkan
muka. Malunya setengah mati. Dan sehari itu aku tak konsen melakukan apa-apa
karena kejadian itu terus membayangi.
*kisah ini tidak untuk ditiru* :-)
Dari judulnya bikin penasaran, oh ini rupanya .... hahhahaaahahha
BalasHapusSangat indah dikenang..hahaha
HapusWahaha taunya tidur yaaa
BalasHapusIya..hahaha
BalasHapushahahaha..... capek banget kak kayanya, banyak2 istirahat kak... ga usah gasss pool terus ^^ memalukan sekaligus menggelikan kak
BalasHapuscemanalah Jun, sikon yg membuat energi harus gas poll. haha
HapusMbaaa.. jangan lupa jaga kesehatan hehe. Untung ketiduran bukan pengsaaaan :D
BalasHapusiya mbak..haha
HapusYaampun mbaak hahaha. Jaga kesehatan ya mbak
BalasHapusAstagaaa mbak.. Udah pada cemas itu. Lekas fit lagi ya mbak. Biar gak ketiduran di masjid lagiii :D
BalasHapushahaha...benar2 konyol memang..
BalasHapusWahaha,kirain kisah sama kak sunardi mba, heheheh
BalasHapusKalo kisah sama abg sunar buka aja di post sebelumnya, napktilas pernikahan
Hapus