Ialah Ratih Kartika, perempuan berhati lembut selembut beludru, bertangan ringan seringan kapas yang melayang ke bumi. Aku jatuh cinta pada kepribadiannya setelah kami ngobrol panjang di pelataran Mesjid Jamik Kota Bengkulu. Meski itu pertemuan pertama kami, tapi keakraban yang terjalin selama ngobrol terasa hangat, bersahabat. Seakan kami telah berteman lama.
Cuaca Bengkulu cukup terik siang itu. Namun sentuhan air wudhu zuhur itu mampu menyejukkan jiwa raga. Aku tersenyum padanya yang sedang berjalan menuju lemari mukena. Aku yakin itu dia, karena cuma dia satu-satunya jama’ah yang memakai rompi hitam, sesuai dengan clue yang ditulisnya di pesan whatsapp. Kami berkenalan, lalu berjalan menuju pelataran. Di sana lah terkuak segala sepak terjangnya selama ini.
💦Dari SAS Hingga ke Yasara💦
Agak lain memang perempuan yang satu ini. Orang tamat kuliah biasanya mikirnya mau kerja di mana, bagian apa, ambil pekerjaan dengan nominal gaji berapa? Tapi Ratih, si pemilik wajah hitam manis ini justru berpikir setelah lulus kuliah ia mau action apa agar bisa langsung dirasakan kehadirannya oleh masyarakat sebagai sarjana baru. Ia tidak begitu peduli soal kontribusi yang harus sesuai dengan jurusan akademiknya. Baginya, berkarya nyata akan lebih membuat dirinya lebih berarti.
Akhirnya, ia memenuhi panggilan jiwanya yang meronta ingin selalu berbagi dengan sesama. Maka untuk mewadahi keinginannya ini, pada 5 September 2015, Ratih mendirikan komunitas sosial yang ia beri nama SAS (Sedekah Apa Saja).
“Waktu itu aku belum ada pemikiran spesifik untuk berbagi apa sebagai ciri khas lembaga ini, mbak. yang ada diotakku kala itu hanyalah berbagi, berbagi, membantu, membantu. Makanya dibuat namanya Sedekah Apa Saja asal bermanfaat. Seliter minyak goreng jadi, sehelai baju bekas oke, sedekah lima ribu pun gak masalah”, begitu penjelasannya padaku.
Ia bergerak sendiri, dengan dana sendiri pula. Bisa dibilang nekat sih, sebab ia saja belum punya penghasilan yang mumpuni saat itu. Namanya juga baru selesai studi ya kan. Tapi ia sangat percaya bahwa Allah akan memudahkan segalanya. Niat baik akan bertemu jalan yang baik pula.
Dengan tagline komunitas SAS BERGERAK, BERBAGI, MENGINSPIRASI yang ia gaungkan, satu persatu teman-teman dekatnya mulai membersamai. Mereka yang tersentuh hatinya menawarkan diri untuk terjun sebagai relawan. Apa yang dilakukannya mulai membuahkan hasil. Ini bukti nyata bahwa memberi teladan dengan perbuatan itu jauh lebih efektif dibanding sekedar mengurai kata-kata. Hingga akhirnya, 6 bulan sesudah SAS berdiri, ia mengganti nama komunitas itu menjadi PMIA (Pejuang Muda Indonesia).
Nama PMIA dipilih karena yang tergabung dalam komunitas ini adalah para anak muda yang masih fresh, tentu yang punya visi senada dengan Ratih ini. Teknik berbagi mereka pun mulai tertarget. seperti berbagi khusus kepada anak yatim, donasi terhadap dhuafa dan orang sakit, dan memberi beasiswa pendidikan kepada siswa yang kurang mampu.
Sadar bahwa usia mereka tak akan selalu muda, pada medio Desember 2019, Ratih kembali mengganti nama komunitasnya yang lebih sesuai dengan visinya dan tak terbatas waktu. Dipilihlah nama Yasara Indonesia, dimana Yasara berasal dari kosa kata Bahasa Arab yang berarti kemudahan. Ya, Yasara hadir untuk memudahkan segala uruasan orang lain, khususnya para dhuafa, orang sakit, anak yatim, dan sebagainya. Masya Allah, sungguh pilihan nama yang cerdas dan filosofis!
salah satu pergerakan Yasara |
💦Mengenal Yasara Indonesia Lebih Dekat💦
Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bahwa dari waktu ke waktu program berbagi Yasara lebih tertarget. Berawal dari berbagi apa saja yang disebut dengan program Yasara Berbagi (YB), lantas setahun sesudahnya, tepatnya pada tanggal 21 Juli 2016, lahirlah program Sahabat Pendidikan Indonesia (SPI) yang saat itu komunitasnya masih bernama PMIA. SPI hadir untuk menyasar para pelajar yang masih terkungkung dalam keterbatasan biaya selama menjalani studinya, baik tingkat SD, SMP, SMA hingga Universitas.
Mengulik Program Sahabat Pendidikan Indonesia
Sebagai alumni UNY jurusan Pendidikan Akuntansi sekaligus pasca sarjana jurusan Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, perempuan berdarah Jawa ini tentu tidak melupakan dunianya. Ia lebih serius menggarap program ini mengingat masih banyaknya masalah pendidikan yang di hadapi rakyat Indonesia khususnya soal biaya. Tak jarang, sebagian anak negeri ini harus putus sekolah bersebab orang tua mereka tak mampu menanggung biaya keperluan sekolah.
Merujuk pada laman Portal Data Kemendikbudristek yang diunggah pada tanggal 22 Agustus 2024, jumlah anak yang putus sekolah pada tingkat SD/MI sederajat hingga tahun 2023 di setiap provinsi yang ada di tanah air masih sangat memprihatinkan.
Data lebih lengkap lihat di laman https://data.kemdikbud.go.id/dataset/p/peserta-didik/jumlah-putus-sekolah-menurut-jenis-kelamin-dan-status-sekolah-tiap-provinsi-indonesia-sd-2023 |
That’s why, pemilik nama lengkap Ratih Kartika ini gercep mengambil peran untuk membantu menyelamatkan pendidikan anak Indonesia. Meski kecil, tapi itu akan sangat berarti bagi mereka yang membutuhkan.
Sejauh ini, tercatat ada 30 relawan SPI yang membantu Ratih dan tersebar di berbagai provinsi. Para relawan ini akan secara bergiliran mensurvei sekolah target dan mengumpulkan donasi dari para donatur. Setelah donasi terkumpul, barulah bantuan disalurkan ke sekolah yang sudah ditetapkan. Setiap bulan, SPI akan menyalurkan bantuan pendidikan ke beberapa anak di satu sekolah. Bantuan ini bersifat langsung dan putus. Artinya, bantuan akan diterima secara simbolik oleh anak-anak yang telah ditetapkan sekolah sebagai penerima. Lalu donasi ini diserahkan langsung ke sekolah guna menyelesaikan segala tunggakan si anak, seperti tunggakan SPP, uang buku, dan lain-lain. Cerdas! Saya setuju dengan sistem ini. Jika donasi diberikan langsung ke anak, belum tentu bantuannya digunakan untuk menyelesaikan keperluan sekolah. Sebagian orang tua kadang kalap ketika nerima bantuan pendidikan. Uangnya justru dialihkan ke hal-hal lain yang kadang bersifat konsumtif. Nominal bantuannya? Gak nentu. Tergantung jumlah donasi yang terkumpul.
“Mbak, kenapa harus bantuan putus? Kenapa nggak berkelanjutan semacam beasiswa sampe tamat gitu?” tanyaku penasaran.
“Sebab saya mengejar frekuensi, menghitung kali berbaginya, bukan mentarget jumlahnya. Lagian banyak permintaan ke kami yang datang dari berbagai pelosok negeri. Jadi biar merata, semua kebagian”, papar wanita beranak dua ini.
Para relawan Yasara |
Lalu, dari mana saja sumber donasi ini?
Dari para donatur dan dari kantong Ratih sendiri. Wanita kelahiran 1993 ini punya cara istimewa untuk menggaet hati para donatur, yakni membuka donasi hanya dua ribu rupiah saja perhari.
“Agar tidak memberatkan dan membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin berdonasi. Maaf kata, semua orang pasti pernah punya uang dua ribu, si kaya maupun miskin. Dengan dua ribu ini, semua bisa meraih pahala sedekah. Seperti makna Yasara, kami tidak hanya memudahkan orang-orang yang ingin dibantu, tapi juga memudahkan orang-orang yang ingin berdonasi. Jangan anggap remeh. Dua ribu itu sudah sangat berarti untuk menyambung napas pendidikan anak-anak negeri ini”, terangnya.
Jleb! Bahkan pemikiranku pun gak sampai kesitu. Aku kian terpesona dengan kepribadian Ratih yang suka jalan-jalan dan berkenalan dengan banyak orang ini. Dari bola matanya aku bisa membaca ketulusan yang tersirat di sana. Dan jauh dari kedalaman palung hatinya terpancar kehalusan budi yang teraktualisasi lewat perjuangannya memberi manfaat buat banyak orang, selagi nyawa masih di kandung badan. Jarang-jarang lho anak muda punya pikiran seperti ini.
Tercatat sekitar 20 orang donatur tetap yang mendukung program SPI ini. Donasi masing-masing donatur tetap ini mulai dari 60 ribu hingga 1 juta rupiah per bulannya. Selain dari mereka, donasi dari khalayak umum pun selalu masuk. Di akhir bulan, donasi akan dihitung, lalu diserahkan segera ke sekolah target.
Untuk wilayah Bengkulu sendiri, setidaknya sudah ada 5 sekolah yang mendapat manfaat dari SPI ini, salah satunya SD Muhammadiyah 5 Kota Bengkulu. Aku yang kebetulan bisa berkunjung ke sekolah ini jadi saksi betapa bahagianya sekolah menerima bantuan ini.
“Anak-anak yang sekolah di sini banyak anak panti, keluarga broken home yang ibunya berjuang terseok-seok menghidupi anak-anaknya. Jadi ketika SPI ini datang menawarkan bantuan, tentu saya sambut gembira. Bayangkan, SPP di sini hanya 25 ribu per bulan, tapi banyak yang nunggak. Saya juga gak tega mau nagih, apalagi ke panti. Karena panti yang membiayai anak ini pun sering kewalahan karena donatur berkurang”, kata Bu Eka, Kepala Sekolah SD Muhammadiyah 5 ini.
Alahoi, sebegitu mirisnya penanggungan.
Kebetulan SD Muhammadiyah 5 ini sudah dua kali menerima bantuan SPI. Kata Bu Eka, bantuan yang pertama lebih banyak mereka pilih dari kelas 6 dan beberapa orang dari kelas 3. Karena kelas 6 lumayan banyak yang harus dilunasi menjelang kelulusan. Good job!
Sedangkan bantuan yang kedua itu hanya diberikan kepada 2 orang anak, di mana dana bantuannya dibayarkan untuk SPP 4 bulan dan sisanya untuk pelunasan uang LKS.
Salwa, salah satu anak yang jadi penerima bantuan ini pun merasa berterima kasih sekali kepada SPI ini. Karena bantuan pendidikan SPI ini bisa meringankan beban ibunya sesaat. Dan tentu saja melegakan hatinya karena ia tidak lagi dibayang-banyangi tunggakan SPP dan buku yang bisa mengancam nasibnya putus sekolah.
“Ibu sehari-hari hanya jual gorengan, Bu. Tapi sekarang dagangan ibu sepi. Kami 4 kakak beradik yang dibiayai ibu”, cerita Salwa saat kuajak ngobrol sebentar.
See! Benar kata Ratih, dua ribu yang terkumpul dari sekian orang ini sungguh sangat berarti sekali bagi keberlanjutan sekolah Salwa dan teman-temannya. Aku sebagai guru pun mampu merasakan betapa dilemanya sekolah dalam bersikap terhadap siswa-siswi yang kurang mampu. Mau tegas sering gak tega. Dibiarkan justru sekolah yang kelimpungan untuk menanggung biaya. Tapi setidaknya, perjuangan seorang Ratih ini menjadi sinergi positif bagi dunia pendidikan, khususnya sekolah-sekolah yang baru mau bertumbuh.
Intinya, jika bersama-sama kita bergerak, kita pasti bisa!
💦Tantangan dan Harapan Sang Founder SPI💦
Beruntungnya seorang Ratih, ia punya support system yang luar biasa mulai dari orang tua hingga suami dan anak-anaknya. Di saat orang tua banyak menuntut anaknya untuk menjadi ASN, apalagi jurusan pendidikan, namun orang tua Ratih justru mendukung perjuangan anak manisnya ini. Suami pun sama supportnya. Bahkan suaminya sering menjadi relawan yang terjun langsung kelapangan.
Tapi bukan berjuang namanya jika tidak ada tantangan. Selama Yasara berdiri dan program SPI diluncurkan, kendala-kendala tentu bermunculan, salah satunya adalah donatur yang tidak konsisten. Sehingga perempuan yang juga seorang penulis ini tidak bisa mengkalkulasi berapa donasi yang akan disalurkan setiap bulan.
Satu hal yang dipegang teguh olehnya, ada atau tidak ada donatur, donasi tetap harus berjalan. Gak boleh bolong barang sekali pun. Kantong Ratih selalu sedia menyalurkan dana, gak dapat banyak, sedikit pun tak apa, yang penting berbagi rutin.
Konsistensi. Inilah yang menjadikan SPI istimewa. Karena komunitas Yasara didirikan atas dasar panggilan jiwa, maka suluhnya akan tetap hidup dengan atau tanpa donatur. Sebab Tuhan pun menilai ibadah bukan soal banyaknya, tapi soal konsistennya. Sedikit tapi berkesinambungan itu lebih bernilai ketimbang banyak tapi hanya sekali dilakukan. Bersama-sama melakukan kebaikan pun nilainya jauh lebih tinggi dari pada dilakukan sendiri. Sebab misi penciptaan manusia pun salah satunya agar berbuat baik dan mengajak orang lain pada kebaikan.
Sayangnya, sampai saat ini belum ada pemerintah yang melirik program yang dijalankan Ratih ini. Semoga saja ke depan SPI dan pemerintah menjadi mitra dalam meneruskan napas pendidikan anak Indonesia.
Ke depan, wanita kelahiran Cilacap ini berharap Yasara bukan hanya sekedar komunitas, tapi jadi yayasan besar yang bisa membawa perluasan kebermanfaatan di penjuru tanah air.
💦Lika-Liku Menuju SIA (SATU Indonesia Award)💦
Sejak 2010 Astra rutin memberikan apresiasi kepada anak muda yang jadi pelopor perubahan dan berbagi kebaikan kepada masyarakat di lima bidang, yakni bidang Kesehatan, Pendidikan, Kewirausahaan, Lingkungan dan Teknologi. Apresiasi ini terangkum dalam program Semangat Astra Terpadu (SATU) Indonesia Award.
Ratih pun tak mau melewatkan kesempatan ini. Atas kiprahnya di SPI, ia mencoba mendaftar sebagai nominator pada tahun 2020. Namun nasib baik belum berpihak kepadanya. Ia gugur dan kehilangan kesempatan untuk mendapat award. Tapi kegagalan ini sama sekali tak membuat sepak terjang SPI menurun. Sebab ini bukan tujuan utama.
Pada tahun 2021, wanita asal Yogya ini kembali mencoba daftar. Keseriusannya merawat SPI teruji di sini. Meski gagal menjadi penerima award kembali bahkan hingga ke tahun berikutnya, ia justru kian fokus mengembangkan komunitasnya. Terus berinovasi dengan menambah program berbagi Yasara yang lain. Jika dulu hanya ada Yasara Berbagi (YB) yang menyasar dhuafa dan orang sakit, dan Sahabat Pendidikan Indonesia (SPI) yang menyasar pelajar, maka kini Yasara telah menambah 3 program lainnya yakni; Berbagi Bahagia (BB) yang merupakan donasi pengadaan laptop untuk panti asuhan, Santunan Anak Yatim (SANY) yang menyasar khusus anak yatim non panti, dan Yasara Menginspirasi (YM) yang programnya berupa menulis buku, mengadakan pelatihan, seminar, dongeng anak. Di mana hasil dari penjualan buku yang ia tulis bersama teman-temannya digunakan untuk menyalurkan donasi kembali ke 4 bagian program itu, khususnya untuk program pendidikan.
Tepat setelah dua tahun ia hijrah ke Bengkulu, bersebab suaminya pindah tugas ke sini, ia kembali mendaftarkan program SPI-nya ke SATU Indonesia Award. Dasar mental pejuang dan pantang menyerah. Gak kapok. Hehe. Begitulah tabiat perjuangan. Pada akhirnya, ia akan sampai pada puncaknya. Perjuangan yang dilalui dengan sungguh-sungguh akan berbuah ranum. Jadilah di tahun 2023 itu Ratih dinobatkan sebagai penerima SATU Indonesia Award bidang pendidikan mewakili provinsi Bengkulu.
Selamat Mbak Ratih! Ajang SIA telah usai, tapi SPI terus bergerak lewat tangan dinginmu bersama rekan-rekan relawan. Salut!
Dari dirimu aku belajar arti sebuah ketulusan, perjuangan, dan konsistensi. Lebih dari itu, pergerakanmu menjadi alarm bagi diri ini tentang untuk apa sebenarnya kita ini diciptakan. Kututup tulisan ini dengan kalimatmu yang indah;
Memulai dengan penuh keyakinan
Menjalankan dengan penuh kesungguhan
Menyelesaikan dengan penuh kebahagiaan.
#BersamaBerkaryaBerkelanjutan #KitaSATUIndonesia
Tidak ada komentar
Posting Komentar